![]() |
| Cerita Seks Terbaru Nonton Di Bioskop Yang Gelap |
Aku
sebenarnya kurang begitu suka film seperti ini namun karena pacarku terus
membujuk, akhirnya aku ikut saja. Lagipula aku merasa tidak rugi berada di
dalam bioskop selama 3 jam lebih karena memang selama itulah durasi film
tersebut.
Setelah
duduk di dalam bioskop, kami membuka ‘perbekalan’ kami (berhubung selama 3 jam
ke depan kami akan terpaku di depan layar). Aku mengeluarkan popcorn dan
minuman yang telah kami beli di luar. Jhon duduk di sebelah kiriku. Dua
bangku paling pojok di sebelah kananku masih kosong. Beberapa menit kemudian,
trailer film-film sudah mulai diputar. Menjelang film Lord Of The Ring dimulai,
seorang pria bersama pacarnya duduk di sebelah kananku. Aku hanya dapat
melihatnya samar-samar karena suasana di dalam ruangan itu sangat gelap.
Pria itu
duduk tepat di sebelah kananku dan pacarnya di sebelah kanan pria itu. Mereka
pun mengeluarkan makanan dan minuman untuk disantap selama film diputar.
Sepuluh menit berlalu setelah film tersebut berjalan. Aku sekilas melihat pria
di sebelahku menaruh tangan kirinya di alas lengan di antara kursi kami berdua.
Sedangkan tangan kanannya menggenggam tangan pacarnya. Ia mengenakan sebuah
cincin dengan hiasan batu cincin besar yang sangat mencolok di jari tengah
tangan kirinya. Dan di jari manisnya ia mengenakan sebuah cincin yang sangat
sederhana.
Menurut
analisaku pria ini telah menikah. Selain dari cincin yang kuduga adalah cincin
pernikahan, aku juga melihat sekilas wajah pria itu. Kulitnya lebih hitam dari
kulitku yang putih (aku dari keturunan chinese). Dari wajahnya aku
memperkirakan umurnya sekitar 35-an. Akan tetapi aku tidak sempat melihat
wanita yang datang bersamanya (istrinya?). Pikiranku menduga-duga apakah pria
ini sedang berselingkuh dengan wanita lain. Namun segera aku tepis pikiran itu
dan mengatakan pada diriku sendiri bahwa pria itu sedang bersama istrinya dan
tidak perlu aku berprasangka buruk terhadap mereka. Aku kembali berkonsentrasi
pada film di layar di hadapanku sambil menikmati kudapan. Sesekali
Jhon juga meraup popcorn yang kupegangi itu. Jhon begitu serius
menonton.
Memang ia
sangat menyukai film yang merupakan akhir dari 2 seri sebelumnya. Setengah jam kemudian,
semua makanan dan minuman yang kami beli tadi sudah habis. Boleh dikatakan film
itu sangat tegang. Dengan adegan perang yang sangat seru, mataku mau tidak mau
terpaku pada layar.
Pada satu
adegan yang mengejutkan, aku sampai terlonjak dan berteriak. Jhon meraih
tangan kiriku dan menggenggamnya dengan lembut. Aku pun semakin mendekatkan
diri padanya karena memang pada dasarnya aku takut menonton adegan perang. Dari
ujung mataku, aku merasakan pria di sebelahku memandangi kami (atau aku?).
Karena pria itu hanya sebentar saja memandangi kami, aku tak menggubrisnya.
Akan tetapi makin lama, pria itu semakin sering dan semakin lama memandangi
kami.
Aku
menyempatkan diri untuk melirik ke arahnya dan benar dugaanku bahwa pria itu
memang memandangi kami, atau lebih tepatnya ia memandangi aku. Walau merasa
risih, aku memutuskan untuk mengacuhkan pria itu. Untunglah film itu terus
menerus mengetengahkan adegan-adegan yang seru sehingga aku dapat dengan mudah
melupakan pria itu. Film telah berlangsung hampir setengahnya.
Jhon
berkata bahwa ia ingin buang air kecil. Dalam gelap, ia meninggalkanku
(kebetulan film bukan sedang adegan yang seru). Setelah Jhon hilang dari
pandanganku, tiba-tiba pria itu menepuk lenganku dan berkata, “Sudah baca
bukunya?” Aku terlonjak karena kaget tiba-tiba diajak ngobrol seperti itu di
tengah pemutaran film. Seingatku aku tidak pernah berbicara dengan orang asing
di dalam bioskop (apalagi saat film sedang berlangsung). Aku mengira-ngira apa
yang dimaksud dengan pertanyaan pria itu. Aku rasa ia menanyakan tentang buku
Lord Of The Ring 3. Aku menjawab singkat, “Belum.” Entah mengapa jantungku jadi
berdebar kencang. Ada perasaan aneh yang menyelimuti hatiku. Campuran antara
kaget, curiga, penasaran dan… takut.
Dari awal
berbicara denganku, pria itu menatap mataku dalam-dalam seperti sedang membaca
pikiran dalam benakku. “Sayang sekali. Baca dulu deh, baru bisa lebih menikmati
filmnya” pria itu menyanggah dengan suara yang dalam namun pelan. Setelah itu
ia kembali menatap ke depan dan meneruskan menonton. Aku ditinggalkan dalam
perasaan yang tidak menentu dan agak kosong. Anehnya aku merasa seperti ingin
menangis. Pada saat itulah Jhon kembali.
Aku tidak
menceritakan kejadian aneh itu kepadanya. Mungkin karena aku tidak ingin
mengganggu kenikmatannya menonton film itu. Tapi alasan yang lebih menonjol
adalah timbulnya rasa takut untuk menceritakannya kepada pacarku saat itu. Aku
berusaha untuk menonton lagi walau pikiranku terus melayang ke sana kemari.
Ketika pikiranku berputar-putar tak tentu arah, tiba-tiba aku merasakan ada
yang menyentuh pundak kananku. Awalnya aku mengira Jhon yang menyentuhnya.
Tetapi
setelah kuperhatikan, ia sama sekali tidak bergerak (ia masih serius
memperhatikan layar bioskop). Aku melihat ke belakangku. Tidak ada apa-apa
karena memang kami duduk di baris paling belakang. Aku melihat ke sebelah kananku
dan mendapati pria itu sedang menonton dengan asik bersama istrinya. Setelah
lelah mencari-cari, aku kembali menonton. Dalam hati aku masih mencari-cari apa
yang menyentuh pundakku itu. Tadi aku benar-benar merasakan sebuah tangan
menyentuh pundakku. Aku yakin benar. Namun aku jadi bingung karena tidak
melihat adanya orang lain di sekitarku yang mungkin melakukannya. Kepalaku
menjadi pusing dan berputar. Aku merasa mual dan tidak enak badan. Aku menutup
mataku untuk menenangkan pikiranku. Beberapa detik kemudian, aku merasakan
diriku seperti sedang mengapung di air yang sejuk dan tenang. Semua perasaan
tak enak tadi sekonyong-konyong lenyap begitu saja dan digantikan dengan
perasaan nyaman dan santai. Mataku masih terpejam pada saat aku kembali merasakan
sebuah tangan menjamah pundak kananku. Aku berusaha untuk tetap tenang. Aku
melirik ke pria di kananku. Ia duduk berdempetan dengan istrinya.
Pria itu
sedang merangkul pundak istrinya. Kecurigaanku padanya langsung hilang begitu
mengetahui ia tidak sedang berada dekat dengan tubuhku. Aku menengok ke
Jhon dan juga mendapati ia sedang asyik menonton. Dengan adanya perasaan
sebuah tangan sedang merangkul pundakku, aku meneruskan menonton sambil mencoba
untuk tidak memikirkan hal itu. Usahaku sia-sia. ‘Tangan’ di pundak kananku
bergerak-gerak ke atas dan ke bawah seperti sedang mengusap-usap lembut
tubuhku. Kemudian aku merasakan ada angin hangat berhembus perlahan meniup
bagian kiri leherku. Aku langsung menengok ke arah datangnya angin itu. Tidak
ada apa-apa. Jhon sedang duduk melipat tangan di depan dadanya sambil
bersilang kaki. Belum sempat aku berpikir lebih jauh, aku merasakan leherku
dijilat.
Ya, aku
benar-benar merasakan sebuah lidah yang hangat dan basah menyapu leherku itu.
Bulu kudukku spontan meremang. Langsung aku menengok lagi sambil mengusap
leherku pada bekas jilatan itu. Kering. Tidak basah sama sekali. Dan tidak ada
apa-apa di sampingku. Jhon rupanya agak terganggu dengan kegelisahanku.
Dia menanyakan ada apa. Aku tidak memberitahukannya. Aku menyuruhnya untuk
kembali menonton. Jhon kembali menonton. Ia menggenggam tangan kiriku dan
mendekatkan tubuhnya sehingga lengan kanannya menempel dengan lengan kiriku.
Aku masih merasakan pundak kananku dirangkul oleh ‘tangan’ yang tak nampak. Dalam
posisi yang lebih dekat dengan pacarku, aku bisa menjadi lebih tenang. Namun
perasaan tenang itu hanya sebentar. Kuping kiriku dikecup dengan lembut. Aku
menengok ke kiri. Tetap saja tidak ada apa-apa selain Jhon yang sedang
menatap serius layar di depan.
Aku mulai
panik. Jangan-jangan ada mahluk halus di dalam bioskop itu, pikirku. Aku
merasakan kembali kecupan itu. Mulai dari telingaku lalu bergerak ke bagian
belakangnya. Pada saat kecupan itu menghampiri belakang telingaku, darahku
mendesir dengan kuat. Jantungku berdebar. Hanya Jhon (dan diriku tentunya)
yang tahu bahwa belakang telinga merupakan titik erogenku (erogen = daerah pada
tubuh yang sensitif terhadap rangsangan sexual).
Aku
melepaskan nafas yang panjang melalui mulutku sambil mengubah posisi duduk.
Jhon melihat perubahan pada diriku. Tentu ia mengira aku bosan karena
setelah itu ia mengusap-usap tanganku yang digenggamnya. Entah apa yang sedang
terjadi pada diriku. Hanya karena Jhon mengusap-usapkan jari-jarinya di
tanganku, aku menjadi terangsang. Hal seperti ini belum pernah terjadi
sebelumnya. Walau kami sudah berpacaran lebih dari setahun, aku tidak pernah
berbuat jauh selama berpacaran dengan Jhon. Tidak pernah melebihi ciuman di
kening, pipi dan bibir. Aku tahu sebenarnya diriku tergolong gadis yang tidak
tertarik akan hal-hal yang berbau sex, boleh dibilang: frigid.
Baru
akhir-akhir ini saja aku mulai melayani Jhon dengan tanganku. Pertama kali
memegang penisnya, aku merasa risih dan agak jijik. Namun setelah melakukannya
dua atau tiga kali, aku dapat mengatasi perasaan tersebut. Hal yang paling
menarik dalam memberi Jhon ‘hand-job’ adalah pada saat dirinya
berejakulasi. Melihat dirinya mengejang-ngejang sangatlah menarik dan sexy.
Juga sebelumnya aku tidak pernah membayangkan seorang pria dapat menyemprotkan
cairan seperti itu.
Jhon pernah
memintaku untuk menghisap kemaluannya. Tentu saja aku tolak. Dan untunglah
sampai saat ini ia tidak pernah memintanya lagi. Jhon juga tidak pernah
menjamah tubuhku.
Sentuhan-sentuhannya
paling hanya berkisar pada lengan dan wajahku. Aku tidak akan mengijinkannya
menjamah dadaku terlebih lagi kemaluanku, dan ia tahu itu. Aku takut kami tidak
dapat mengendalikan diri sehingga akhirnya kami kebobolan. Aku ingin agar
hubungan sex kami dilakukan pada malam pertama yang sakral.
Singkat
kata, kami menerapkan sistem berpacaran yang ketat dan konservatif. Sampai saat
ini aku masih perawan dan begitu pula Jhon (setidaknya ia mengaku
demikian). Jhon merupakan pacar pertamaku sedangkan Jhon sebelumnya
sudah pernah satu kali berpacaran. Jadi saat itu adalah pertama kalinya aku
mendapatkan ‘kecupan’ di belakang kuping. Jhon pernah menyentuhnya dengan
ujung jarinya dan itu saja sudah membuatku berdebar. Aku tidak dapat berpikir
banyak. Biasanya aku dapat mengatasi dorongan sexualku namun saat itu aku
seakan jatuh ke dalam aliran sungai birahi yang deras dan hanyut terbawa
arusnya. Jantungku serasa akan mau copot pada saat kecupan itu bergerak turun
ke leherku.
Aku
mengerang sedikit karena saat sadar apa yang kuperbuat, aku segera menghentikan
eranganku. Jhon tidak mendengar eranganku tadi. Aku menoleh ke kanan untuk
melihat apakah pria itu mendengar eranganku tadi. Rupanya pria itu sedang
mencumbu istrinya. Bagus, pikirku. Dengan demikian ia tidak akan melihat atau
mendengarkan diriku. Sebenarnya aku agak risih berada di samping pria yang
sedang mencumbu istrinya itu. Walau demikian aku mencuri-curi pandang ke arah
pria itu untuk melihat apa yang sedang dilakukannya. Lewat ujung mataku,
diam-diam aku memperhatikan sepasang insan yang sedang bercumbu itu. Pria itu
sedang menciumi leher istrinya. Tangan kanannya dirangkulkannya ke pundak
istrinya. Istrinya terlihat sangat menikmati. Saat tangan kiri pria itu
memegang lengan kiri istrinya, aku juga merasakan ada sebuah tangan menyentuh
bagian atas lengan kiriku.
Aku kaget
memikirkan kemungkinan yang terjadi saat itu. Tangan kiri pria itu menggenggam
erat lengan kanan istrinya. Genggaman pada lengan kananku juga bertambah.
Kecurigaanku semakin kuat. Entah bagaimana, semua perbuatan pria itu pada
istrinya juga dirasakan oleh tubuhku. Aku sangat takut. Memikirkan kemungkinan
yang dapat terjadi kemudian, jantungku seperti berhenti berdetak. Perasaan
pusing dan berputar itu kembali muncul seiring dengan usahaku untuk
‘membebaskan diri’.
Semakin
aku berusaha, kepalaku semakin sakit. Akhirnya aku menyerah dan tidak
memberikan perlawanan lagi. Aku membiarkan semua ‘perasaan’ yang muncul saat
itu. Pria itu menarik wajah istrinya mendekat lalu memagut bibirnya. Pagutan
mulut pria itu pada istrinya terasa jelas pada bibir mulutku. Setiap sentuhan,
tekanan serta usapan bibir dan lidah pria itu semua kurasakan pada bibir dan
mulutku. Aku menutup mulutku rapat-rapat namun masih saja merasakan pagutan
yang kian memanas.
Aku tahu
lidah pria itu sedang bermain-main dengan lidah istrinya karena lidahku pun
merasakan sensasi itu. Mendapati diriku menikmati semua itu membuat malu
diriku. Aku belum pernah merasakan kenikmatan seperti ini pada saat berciuman
dengan Jhon. Setelah pria itu melepaskan mulutnya dari bibir istrinya,
wanita itu tampak terengah-engah. Sialnya, aku pun mengalami hal yang sama.
Dadaku naik turun terengah-engah, seperti baru selesai berlari.
Untunglah
sampai saat itu, baik pria itu maupun Jhon tidak memperhatikan diriku.
Lalu pemikiran itu muncul. Jangan-jangan pria di sebelahku itu memang sedang
mengguna-gunai aku dengan pelet, hipnotis, guna-guna atau hal-hal lain yang
sejenisnya. Jika benar demikian, berarti seharusnya ia tahu apa yang sedang
terjadi pada diriku. Aku teringat perkataan pendetaku di gereja, bahwa orang
beriman tidak bisa kena guna-guna atau pelet. Hatiku mencelos.
Sudah
sekian lama aku tidak beribadah kepada Tuhan. Seharusnya dua minggu lalu, aku
menerima ajakan temanku untuk ke gereja bersamanya. Namun aku malah pergi
bersenang-senang ke mall. Penyesalanku menguap dengan cepat pada saat aku
merasakan payudaraku ‘dijamah’. Jamahan itu tidak terlalu terasa. Aku melirik
ke kanan. Pria itu sedang menggerayangi dada istrinya. Untungnya aku tidak
terlalu merasakan apa-apa pada saat itu. Belum pernah aku disentuh oleh orang
lain pada daerah dadaku. Boleh dikatakan saat itu merupakan pertama kalinya aku
merasakan sentuhan (walau secara tak langsung) pada payudaraku.
Dan
rupanya tidak senikmat seperti yang kudengar dari omongan orang. Akan tetapi
aku harus segera meralat pendapatku itu. Pria itu memasukkan tangannya ke dalam
kemeja istrinya. Tangannya hilang di balik kemeja tersebut sehingga aku tidak
tahu apa yang sedang dilakukannya. Detik berikutnya sungguh membuatku melambung
tinggi. Aku merasakan dengan sangat jelas, jari-jari pria itu memuntir lembut
puting susu istrinya. Aku memejamkan mataku sambil mengatur nafasku yang mulai
tak teratur karena secara tak langsung aku pun merasakan jemari pria itu
menari-nari pada payudara dan puting susuku.
Sejenak
aku merasa jijik pada pria itu tetapi setelah beberapa saat perasaan yang
tinggal hanyalah birahi semata. Selama ini aku mengira bahwa aku tidak akan
pernah menikmati hal-hal sexual seperti ini. Sekarang aku merasakan yang
sebaliknya. Pilinan jari-jari pria itu membuat darahku lebih menggelegak
dibanding sensasi dari ciuman di belakang telingaku. Aku tidak pernah menyadari
bahwa payudaraku (terutama putingnya) sangat sensitif. Sejak saat itu aku baru
tahu bahwa daerah payudara juga merupakan titik erogen pada tubuhku. Belum
sempat aku mengikuti pacu detak jantungku, aku merasakan pria itu menyentuh
bagian dalam paha istrinya. Kemudian pria itu mengusap kemaluan istrinya.
Usapannya terasa seperti terhalang sesuatu (yang akhirnya kutahu bahwa ia
mengusap kemaluan istrinya yang masih tertutup celana dalam).
Aku
membuka mataku dan menoleh sedikit ke arah pria itu untuk melihat apa yang
sedang dilakukannya. Dengan tangan kanannya, ia memain-mainkan payudara
istrinya dan tangan kirinya merogoh selangkangan istrinya. Saat itulah aku
dapat dengan lebih jelas melihat istrinya. Wanita itu sangat cantik (jauh lebih
cantik dariku). Bila ia mengaku dirinya artis dengan mudah aku akan percaya.
Kulitnya
sedikit lebih putih dibanding suaminya namun masih lebih gelap dari kulitku.
Rambutnya panjang agak ikal. Dari wajahnya ia terlihat begitu menikmati
sentuhan-sentuhan suaminya (yang secara tak langsung juga kunikmati). Ia
mengenakan kemeja yang sudah terbuka kancing-kancingnya dan memakai rok pendek.
Kemudian dari balik celana jeans yang kukenakan saat itu, aku merasakan sebuah
jari (yang sangat panjang) mengusap sekujur bibir kemaluanku. Usapan itu terasa
begitu panjang dan lama. Aku sempat menggigil karena terjangan sensasi yang
menghambur dari selangkanganku menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh. Tanpa
pikir panjang, aku langsung berdiri dan berlari meninggalkan bioskop itu.
Aku tidak
mengatakan apa-apa pada Jhon. Lagipula ia sedang asik menonton (waktu itu
sedang adegan perang yang terakhir). Aku melompati dua anak tangga sekaligus
untuk keluar dari ruangan itu. Aku bergegas menuju WC berharap semua sensasi
pada tubuhku dapat hilang seiring dengan menjauhnya diriku dengan pria itu.
Dugaanku salah. Sepanjang jalan menuju WC, aku terus merasakan pria itu
mengoles-oles jarinya di sepanjang bibir kemaluan istrinya. Sedikit demi
sedikit jarinya semakin masuk lebih dalam. Cukup sudah, pikirku. Hentikan! Aku
tak tahan lagi terhadap gemuruh birahi dalam tubuhku.
Aku merasa
liang kewanitaanku menjadi agak basah. Aku hampir tidak pernah ‘basah’ di bawah
sana bahkan pada saat sedang berciuman dengan Jhon. Paling sesekali aku menjadi
‘basah’ pada saat sedang memberikan ‘hand-job’ pada Jhon. Pintu WC kubuka dan
aku lega karena tidak ada orang di dalamnya.
Aku masuk
ke salah satu ruang toilet dan segera menguncinya. Pada saat itulah aku
tersentak karena kaget dan sedikit sakit. Pria itu memasukkan jarinya ke dalam
vagina istrinya. Aku merasa jari itu begitu besar dan panjang seakan menyentuh
ujung rahimku. Untuk sesaat jari itu tidak bergerak di dalam vagina istrinya.
Bukan hanya jari itu yang tidak bergerak, tubuhku juga tidak bergerak karena
shock. Aku merasakan jari pria itu jelas-jelas menembus liang kewanitaanku yang
berarti selaput daraku sudah sobek. Setelah dapat menguasai diriku kembali, aku
segera membuka celana jeansku untuk melihat apakah ada darah yang keluar dari
kemaluanku. Tidak ada. Tidak ada bercak merah pada celana dalamku. Yang ada
hanya cairan bening (agak putih) yang keluar dari kemaluanku sebagai pelumas.
Tak lama
setelah itu, secara perlahan ia menggerak-gerakkan ujung jarinya seperti sedang
mengorek-ngorek. Kakiku menjadi lemas seakan berubah menjadi agar-agar. Aku
segera duduk di closet untuk menenangkan diri. Nafasku semakin memburu. Desahan
demi desahan keluar dari mulutku seiring dengan gerakan ujung jari itu. Seluruh
tubuhku terasa panas dan gerah. Gerakan jari pria itu sekarang berubah menjadi
gerakan maju dan mundur. Gerakannya sangat pelan namun sensasi gesekan kulit
jari pria yang besar itu terasa begitu jelas pada dinding vaginaku. Seakan jari
pria itu benar-benar maju mundur dalam diriku.
Bersamaan
dengan itu, aku mendengar pintu WC dibuka dan terdengar seseorang masuk. Aku
menutup kuat-kuat mulutku sendiri dengan kedua tanganku. Aku tidak ingin orang
lain mendengar aku mendesah-desah di dalam toilet. Sulit sekali menghiraukan
rangsangan yang begitu hebat yang melanda tubuhku saat itu. Aku berkali-kali
harus menggigit bibir bawahku agar tidak bersuara. Pria itu sedikit mempercepat
gerakan jarinya namun semakin lama hujaman jarinya itu terasa semakin mendalam.
Pintu WC
kembali dibuka. Aku masih menekap mulutku dengan kedua tanganku sambil
mendengar apakah benar orang yang tadi masuk sudah keluar (atau jangan-jangan
ada orang lain lagi yang masuk ke WC). Setelah memastikan tidak ada orang lain
di dalam WC, aku melepaskan kedua tanganku dari atas mulutku dan kembali
‘bersuara’. Rupanya pria itu sudah tidak memain-mainkan payudara istrinya
karena aku baru saja merasakan tangan yang satunya memilin klitoris istrinya.
Saat itu pula aku mengerang keras (aku tak peduli lagi apakah ada yang
mendengar). Luar biasa! Benar-benar luar biasa!
Aku
bergetar karena terangsang dan juga malu karena menikmati semua itu. Jika aku
tidak berkeinginan kuat untuk memegang komitmen menjaga keperawananku sampai
menikah, aku benar-benar ingin mencoba berhubungan sex dengan Jhon setelah
ini. Pria itu menghujamkan jarinya dalam-dalam dan diam tidak bergerak. Lalu
ujung jarinya bergetar-getar kecil. Wow, aku benar-benar dibawa melambung
semakin tinggi. Lalu seperti tiba-tiba, pria itu mengeluarkan jarinya. Dalam
hatiku berkecamuk perasaan antara lega dan kesal karena semua itu kelihatannya
sudah berakhir. Aku terdiam. Dorongan sexual masih berkobar dalam diriku. Namun
aku terus berusaha untuk menurunkan tekanan dalam diriku itu.
Lima menit
aku seperti terkulai lemas tak berdaya duduk di closet sambil
mengejap-ngejapkan mataku dan mengatur nafasku yang menderu-deru. Pada saat aku
masuk ke bioskop kembali ke tempat dudukku, aku hampir tak berani menatap pria
itu. Dari ujung mataku aku merasa ia memandangi aku dengan senyum penuh
kemenangan. Segera aku duduk dan memeluk lengan pacarku. Dua puluh menit
kemudian film berakhir.
Aku
mengajak Jhon untuk segera meninggalkan ruangan itu sehingga tidak perlu
bertatapan dengan pria di sebelahku. Jhon menurut saja. Akhirnya kami
bergabung dengan gerombolan orang-orang yang berdesakan ingin segera keluar
dari bioskop. Pria itu dan istrinya tidak beranjak dari tempat duduknya.
Betapa
leganya aku mengetahui semuanya itu sudah berakhir. Namun sekali lagi aku
salah. Setelah keluar dari ruangan itu, kami tidak langsung pulang (walau sudah
malam). Kami berjalan-jalan di mall. Kebetulan aku hendak membeli kemeja untuk
kerja (maklum aku baru kerja satu bulan). Sekitar satu jam setelah keluar dari
bioskop, selagi kami berjalan-jalan di R*** (departemen store), tiba-tiba aku
mulai merasakan sensasi seperti tadi di dalam bioskop. Payudaraku terasa
seperti diremas-remas. Kali ini remasan itu terasa pada kedua payudaraku.
Hatiku mencelos dan berpikir jangan-jangan pria itu kembali bercumbu dengan
istrinya. Namun kali ini ia melakukannya tanpa ‘foreplay’ terlebih dahulu.
Hanya
selang beberapa menit aku kembali dikuasai oleh birahiku yang meletup-letup.
Jhon yang kugandeng sedari tadi belum menyadari perubahan pada diriku.
Namun pada saat aku merasakan jari pria itu menyentuh kemaluan istrinya, aku
terdiam dan berdiri tegang. Jhon tersentak karena aku berhenti secara
tiba-tiba. Ia menanyakan ada apa. Aku belum bisa menjawabnya. Mulutku kelu dan
hatiku berdebar keras. Aku hanya dapat berharap ia tidak mendengar dentum
jantungku. Sepuluh detik kemudian aku memberi alasan bahwa aku teringat akan
suatu hal namun sudah lupa lagi saat itu.
Jhon tampaknya
mempercayainya. Jari pria itu secara perlahan membuka mulut bibir vagina
istrinya, aku dapat merasakan tiap sentuhannya. Dengan sangat amat perlahan
jari itu menembus masuk ke dalam liang kewanitaannya. Aku harus berpegangan
erat pada rak (tempat digelarnya baju-baju obral) agar tidak jatuh.
Jhon masih tidak memperhatikanku. Jari itu terasa begitu besar bahkan
terasa lebih sakit dari saat jarinya pertama kali menembus vaginanya tadi di
bioskop. Tiba-tiba aku baru menyadari bahwa yang masuk ke dalam liang
kewanitaannya itu bukanlah jari melainkan penis. Memikirkan hal itu membuat
jantungku seperti dihempas dari atas gedung lantai 10. Seperti inikah rasanya
bila penis seorang pria menerobos masuk ke dalam diriku. Sakit. Otot-otot vaginaku
terasa seperti akan robek.
Detik-detik
berikutnya sama sekali tidak dapat kuduga bahwa ada sensasi yang begitu nikmat
dalam hidup. Pria itu menggerak-gerakkan penisnya maju mundur. Bersamaan dengan
itu, ia memain-mainkan klitoris istrinya. Serta merta lututku langsung terasa
hampa dan aku terpuruk jatuh ke lantai seperti boneka tali yang diputuskan tali
penyangganya. Jhon panik melihat diriku yang terjatuh itu, namun tidak sepanik
diriku. Beberapa orang di sekitar kami, memandangi aku dengan pandangan bingung.
Aku
berusaha bangun tapi sensasi kenikmatan itu terus menghantam diriku
bertubi-tubi sehingga semua usahaku sia-sia. Rasa takut dan malu mulai
menyelimuti hatiku. Jangan sampai orang-orang itu tahu apa yang sedang terjadi.
Oh Tuhan, apa yang sedang terjadi pada diriku, aku membatin. Tiba-tiba aku
teringat sesuatu. Aku mulai berdoa, meminta ampun pada Tuhan dan mohon
pertolonganNya. Sekejap mata semua sensasi itu lenyap musnah. Jhon sudah
berhasil memapah aku untuk berdiri. Aku juga sudah dapat menguasai diri lagi.
Sebelum
sempat ia bertanya, aku memberi alasan bahwa aku kurang enak badan dan minta
segera diantar pulang. Sesampai di rumah Jhon kusuruh segera pulang
(karena sudah larut malam). Aku segera masuk ke dalam kamar dan bersiap tidur.
Aku kembali memikirkan apa yang terjadi tadi. Malam itu aku mendapat pengalaman
yang benar-benar tak dapat kulupakan.
Aku tahu
aku masih perawan (secara fisik) namun secara batiniah aku merasa keperawananku
telah direnggut oleh pria itu. Walaupun begitu aku bersyukur tidak terjadi
hal-hal yang lebih buruk tadi. Aku juga berjanji untuk lebih mempertebal imanku
sehingga tidak mudah diguna-guna oleh orang lain.
Anehnya
terlintas sekelebat di benakku agar dapat merasakan kembali apa yang telah aku
rasakan di mall tadi. Apa ruginya, pikirku. Selaput daraku masih utuh namun aku
dapat merasakan nikmatnya berhubungan sex dengan pria. Namun mengingat janjiku
kepada Tuhan barusan, aku membuang jauh-jauh pikiran itu. Sekarang aku tidak
lagi menilai diriku sebagai wanita frigid. Aku merasa nyaman dengan sexualitas
diriku dan kini aku lebih terbuka akan hal-hal yang berbau sex. Tetapi aku
tetap saja menerapkan sistem berpacaran yang ketat dan konvensional pada Jhon,
pacarku.
Cerita Seks, Cerita Sex Terbaru, Kisah Seks, Kisah Sex Terbaru, Cerita Bokep, Cerita Dewasa, Cerita Nakal Panas, Cerita Mesum, Cerita ML, Cerita Seks Panas



No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.