![]() |
| Cerita Seks Pasti Ujung-ujungnya Bercinta Juga |
Perkenalkan
Nama Saya Toni, umur saya 24 Tahun, tinggal di kota Medan. Orang
tuaku tinggal di luar pulau karena Papaku bekerja di sebuah perusahaan
pertambangan milik asing disana, sedangkan aku sejak kecil memang sengaja
dititipkan pada kakek-nenekku di kampung dan entah apa alasannya, yang jelas
bukan karena mereka tidak mampu mengurusku atau soal materi. Apa yang diberikan
oleh kedua orangtuaku meski memang melalui kakek-nenek justru berlebih jika
dibandingkan dengan teman-teman sebayaku. Mulai dari pakaian, mainan, uang
saku, dan masih banyak lagi yang secara tidak langsung membuat aku jadi anak
yang ke-pede-an bahkan cenderung suka cari perhatian dan arogan. Meski begitu
prestasiku dalam bidang pendidikan bisa dibilang cukup baik, kenyataannya aku
bisa diterima di salah satu SMA Negeri favorit di daerahku.
Kebetulan kakek
dan nenekku menikah beda agama. Kakekku yang berasal dari desa adalah seorang
muslim yang taat, sedangkan nenekku yang masih keturunan ningrat-belanda
memeluk agama Katolik. Meski keduanya sayang kepadaku tapi aku justru lebih
dekat dengan kakek, dan yang jadi masalah adalah pengetahuan agamaku yang
kurang karena aku beragama katolik sesuai dengan papa mamaku.
Tak
sekalipun kakek mengajarkan tentang agamanya meskipun kami begitu dekat,
sedangkan jika aku harus dekat dan belajar dengan nenek... Hehehe yang ada aku
selalu diomelin dan dituntut untuk menjadi anak yang baik dalam segi apapun
dengan cara nenek yang otoriter bagai kompeni itu. Karna itulah aku selalu
berlindung dibalik kakek, atau jika keadaan terdesak dan kakek pun merasa perlu
menyerahkan aku pada nenek, aku lebih memilih kabur hingga kakek dan nenekku
bahkan sampai bingung bagaimana aku bisa mendapatkan pemahaman agama yang baik,
karena dalam semua mata pelajaran di sekolah, pelajaran agama adalah mata
pelajaran yang paling jeblok dalam raporku. Suster Vero guru agamaku terkadang
hampir habis kesabarannya saat mengajarku dalam kelas. Pengetahuan agama yang
kurang ditambah sikap dan perilaku yang badung membuat beliau bahkan pernah
datang ke rumah dan membahas soal kenakalan dan prestasiku yang jeblok di
sekolah.
Suster
Vero adalah seorang suster yang bertugas di paroki dan juga mengajar agama
Katolik di sekolahku. Selain bekal pengetahuan agama yang kurang dari rumah,
sebenarnya beliau ini adalah salah faktor yang membuat nilaiku justru jeblok di
sekolah. Bagaimana tidak, setiap beliau megajar bukan soal pelajaran yang aku
serap, aku justru sering melamun soal beliau. Jika boleh aku gambarkan disini,
beliau berasal dari NTT, dengan ciri khas orang timur berkulit sawo matang,
posturnya bisa dibilang proporsional setidaknya menurutku, tubuhnya ramping
meski tidak terlalu tinggi, lekuknya samar tercetak dibalik baju keagamaan
dengan ukuran pas badan, belum lagi kedua matanya yang bening namun tajam yang
kadang menemaniku dalam khayalan saat beronani baik saat di rumah atau di
toilet sekolah. Terlebih jika beliau sedang menulis di papan tulis, tangan
kanannya yang terangkat karena papan tulis yang terlalu tinggi dan tangan
kirinnya yang memegang buku panduan membuatku seolah ingin memeluknya dari
belakang, meremas toketnya sambil menggesek-gesekkan kontolku di pantatnya yang
kencang. kadang sesekali kupejamkan mata ketika sedang menikmatinya, hingga
pada suatu hari …
“PLAKKKKK…”
Mataku
terbelalak ketika Suster Vero sudah ada di hadapanku sambil memegang
penggaris kayu besar yang tadi dipukulkannya di mejaku.
“Hei kamu
Toni, coba kamu jelaskan tentang Nabi Musa seperti yang suster ajarkan barusan?”
Suster Vero menatapku tajam seketika itu pula aku tertunduk, meski dengan
diselingi gerakan menggaruk-garuk kepalaku sendiri.
“Anu suster
… Anu …”
‘Matih aku
….’ gumamku dalam hati. Dengan jumlah murid yang sedikit dan suasana yang
begitu hening saat Suster menantikan jawabanku, membuatku tak berkutik untuk
meminta bantuan bisikan dari teman di dalam kelas agama.
Beberapa
menit aku tak kunjung mengeluarkan kata-kata untuk menjelaskan kembali
pelajaran yang baru saja diajarkan Suster Vero.
“Sudah sana,
kamu keluar dan tunggu di luar kelas”.
Dengan
langkah gontai dan tanpa pembelaan aku pun berjalan keluar dan duduk di depan
pintu ruang agama Katolik. Bel pelajaran berbunyi, aku masih tetap berada di
depan pintu ruang agama dan menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
Doa penutup
pelajaran agama sudah selesai dan beberapa saat suster Vero keluar
ruangan. Beliau menatapku dari kejauhan, namun saat melintasiku suster berlalu
dengan sikap dingin tanpa menyapaku.
“Suster … Suster
…” aku berjalan mengejar beliau, namun Suster Vero tetap tak bergeming
hingga saat aku beranikan diri untuk menyentuh lengan tangan kanannya. Seketika
Suster Vero menghentikan langkahnya di lorong sekolah.
“Suster,
Toni minta maaf …. “
“Iya …”
Suster Vero hanya mengeluarkan sepatah kata dengan raut wajah yang dingin
dan kembali lagi melanjutkan langkahnya.
“Maafin Toni suster…
?” aku masih terus mengejar dengan kata-kataku.
“Toni janji
akan bersikap baik di kelas dan memperhatikan pelajaran, tapi suster maafin
Toni ya …? Kalau perlu berikan hukuman atas kesalahan Toni…. ” Kali ini
aku berdiri menghadang Suster Vero hingga beliau berhenti dan kedua bola
matanya yang indah menatapku kembali dengan tajam.
“Baik jika
itu permintaanmu, suster minta kamu datang ke Susteran jam 4 sore dan sekarang
kembalilah ke kelasmu.”
“Terima
kasih suster…” aku menundukkan kepala dan menggeser tubuhku untuk memberikan
jalan.”
Jam sudah
menunjukkan jam 3 sore, dan aku bergegas mandi, Setelah berpakaian rapi akupun
menstater sedan Toy*ta hatchback yang dititipkan papaku di rumah kakek sepaket
dengan aku. Meski belum cukup umur dan papaku juga jauh di luar pulau, tapi aku
sudah terbilang mahir membawa mobil berkat Om Agus adik bungsu dari mamaku yang
masih kuliah dan tinggal di rumah kakek dan nenek.
*Skip skip
skip*
Ahkirnya aku
pun sampai di depan gerbang susteran. Setelah mobil kutepikan aku mengetuk pintu
pagar besi yang tertutup rapat dan tak lama keluarlah Suster Vero.
“Eh kamu
Toni, silahkan masuk ,”
“Dianter
siapa Toni.. ?” Suster Vero bertanya sambil bahasa tubuhnya seolah
menanyakan siapa yang menungguku di dalam mobil.
“Saya
sendirian suster…”
“Kamu
sendiriaan?? Setir mobil itu…???” diikuti dengan tarikan nafas panjang dan
gelengan kepala.
“Iya
suster…. ” jawabku singkat dengan perasaan sedikit bangga namun tetap
menunjukan mimik cemas akan reaksi suster Vero selanjutnya.
“Memang
orang tua kamu mengijinkan?”
“Papa dan
mama di luar pulau suster, Toni dari kecil …. Bla … Bla … ” ahkirnya sore itu
suster Vero tahu tentang keadaanku yang sebenarnya, bahkan raut wajahnya
yang biasanya datar pun kulihat berubah menunjukan rasa terenyuh dengan
keadaanku.
Kami berdua
sudah duduk di sebuah bangku panjang ruang tamu susteran sambil aku
menceritakan kondisi kehidupanku, dan perlahan suasana semakin mencair, apalagi
kondisi susteran saat itu sedang sepi, hanya ada aku dan suster Vero.
Belakangan
aku tahu juga bahwa tempat itu hanya ditinggali oleh 3 orang suster diantaranya
adalah suster Mela, suster Gita dan Suster Vero, mereka punya kesibukannya
masing-masing. Suster Mela yang seorang Kepala Sekolah SMA yayasan Katolik
lebih banyak menghabiskan waktu di sekolah selain melakukan pelayanan gereja
atau berkunjung ke rumah-rumah umat di lingkungan paroki. Suster Gita yang
sudah berumur pun tak kalah sibuk memberikan pelayanan gereja, pelayanan umat,
dan sering melakukan ziarah ke tempat-tempat yang disucikan oleh umat Katolik
baik di dalam maupun luar kota karena diminta umat untuk menjadi pembimbing
rohani. Sedangkan suster Vero yang lebih banyak tinggal di susteran bisa
disebut masih baru di lingkungan paroki kami.
Tugas pokok
suster Vero selain melayani gereja adalah sebagai guru agama di sekolahku.
Yah, selain belum lama ditugaskan di paroki ini suster Vero juga tidak
memiliki sepeda motor seperti Suster Mela dalam beraktifitas, hanya
kegiatan yang benar dirasa perlu saja yang bisa dihadiri olehnya sehingga
praktis beliau lebih banyak tinggal sendirian di susteran.
“Kasihan
kamu Toni… Kamu pasti sangat merindukan orangtuamu ya …?” suster
Vero mendekatkan dirinya dengan posisi tubuh yang mengarah padaku sambil
mengusapkan tangannya di rambutku.
“Eh… Oh, iya
suster ….” aku menjawab sekenanya karena belaian tangan suster di kepalaku saat
itu membuat tubuhku tiba-tiba merinding seperti tersengat listrik meski hanya
hitungan detik.
Aku refleks
melihat wajah suster Vero yang saat itu duduk disampingku, ingin rasanya
kudekatkan wajahku dan mencium bibir tipisnya, arrrghhh ….
Suster
Vero kemudian menarik tangannya dari kepalaku dan merubah posisi duduknya
sambil menghela nafas panjang. Kepalanya menengadah keatas cukup lama dan saat
itu pula kulihat matanya berkaca-kaca.
“Suster
kenapa? Apa perkataan Toni ada yang salah…?
“Enggak kok
Toni, gak ada yang salah … ” Suster Vero menjawab sambil menyeka air mata
yang menetes di sudut matanya dengan jari.
“Suster
hanya …. ” suster Vero menghentikan kata-katanya sambil menarik nafas
dalam-dalam.
“Toni minta
maaf kalau Toni salah, maaf sudah bikin suster sedih dengan cerita Toni…”
“Enggak
Toni, kamu gak salah …. Suster sedih karena teringat orang tua di NTT. Saat ini
ibu suster sedang sakit parah dan dirawat di rumah sakit”
“Owh … Maaf
suster, Toni gak tahu …”
“Suster
ingin sekali bisa pulang tapi suster belum bisa”
“Sabar ya
suster” entah kenapa aku tiba-tiba berani meraih dan menggenggam tangan suster
Vero.
“Yang
penting sekarang kita doakan ibu suster agar kondisinya semakin membaik, kita
doakan juga saudara-saudara disana agar senantiasa diberikan ketabahan dan
kekuatan dalam merawat ibu suster”. Ya …. Sekali lagi anehnya aku bisa dengan
luwes melontarkan kata-kata untuk menenangkan hati suster Vero saat itu.
Seketika itu
pula suster Vero melepaskan tangannya dari genggamanku dan memelukku dari
samping dengan erat.
“Terima
kasih Toni…. Kamu baik sekali …. Selama ini suster sudah salah menilaimu …”
W.O.W…
Jantungku serasa berhenti berdetak ketika payudara suster Vero menempel di
lenganku, meski memang saat itu masih terhalang oleh baju yang kami kenakan.
Rasa empati yang ada dalam diriku berubah drastis menjadi nafsu yang berkobar
saat gundukan kenyal yang samar tergambar dalam otakku, tonjolan bulat
berukuran sedang namun padat dan kencang itu lembut menekan lengan kiriku.
Dalam
hitungan detik suster Vero sudah melepaskan pelukannya saat aku masih
berusaha untuk menikmatinya.
“Maaf Toni…
” suster Vero terbata-bata dan kembali memperbaiki posisi duduknya.
“Gak apa-apa
suster … ” meski sebenarnya aku sanga bersedia memberikan tubuhku sebagai
tempat pelampiasan emosinya … Huft …
Kami berdua
sama-sama terdiam, entah apa yang ada di pikiran suster saat itu namun dalam
benakku hanyalah kelembutan payudaranya yang masih saja terngiang.
“Sebaiknya
sekarang kamu pulang Toni…” suster Vero memulai kembali pembiciraaan kami.
“Lalu
hukuman atas kesalahan Toni di kelas …?”
“Hukuman? … Emmm
… Tidak ada hukuman buat kamu Toni… Suster hanya minta agar kamu lebih konsentrasi
dan bersungguh-sungguh dalam belajar dan sekarang suster ingin berdoa sendiri
untuk kesembuhan ibu”
“Baik
suster, kalau begitu Toni pamit …”
“Terima
kasih Toni, berhati-hatilah di jalan …”
Aku
menganggukkan kepala dan membalikan badan menuju pintu keluar.
“Toni… ”
suster Vero berjalan mengikutiku keluar
“Tolong
jangan ceritakan kejadian tadi pada siapapun.”
“Dan satu
lagi, kapanpun kamu mau, kamu boleh datang kesini”
“Baik
suster, Toni pamit”
Semenjak
saat itu hubunganku dengan suster Vero semakin membaik, di kemudian hari
saat aku berpamitan pada kakek nenek untuk berkunjung ke susteran, justru nenek
seringkali menitipkan makanan atau lauk pauk untuk para suster disana.
Memang hal
ini tak lazim jika dilakukan oleh remaja khususnya cowok seumuranku, Aku tak
peduli, berbagai alasan kugunakan agar aku bisa selalu dekat dengan suster
kesayanganku itu. Mulai dari mendapatkan hukuman, pendalaman imanku, atau
alasan memberikan pelayanan. Begitu pula dengan suster Vero, aku yakin beliau
pasti melakukan hal yang sama pada suster lainya, lingkungan atau umat yang
mungkin melihatku mondar-mandir di susteran itu. Memang tak sering dan tak
banyak yang bisa kulakukan disana, misalnya seperti membersihkan halaman
susteran, menyapu dan mengepel lantai atau berkonsultasi mengenai masalah
keagamaan dan semua itu kulakukan dengan tanpa terpaksa.
Hubungan
yang aneh … tapi entah kenapa masih saja kujalani dan begitupun kurasakan
dengan suster Vero. Hubungan kami tak lagi seperti seorang murid kepada gurunya
atau seorang rohaniawan dengan umatnya. Kami sudah seperti sahabat, bahkan
seperti sepesang remaja yang menyimpan perasaan satu sama lain, untukku memang
hal ini berlaku namun bagi suster Vero? Apakah perasaanku ini juga sama
dirasakannya?
Hingga pada
suatu waktu;
“Toni,
anterin suster kesana yuk …?
“Hmmm… Boleh
suster, memang ada acara apa disana..?
“Tidak ada
acara khusus, suster hanya ingin ziarah dan melakukan doa pribadi saja …”
Hari minggu
ahkirnya kami sepakati untuk berangkat ziarah. Namun karena awal musim hujan
yang membuat cuaca jadi kurang bisa ditentukan. Terkadang hujan tiba-tiba datang dan berhenti
tanpa bisa dikehendaki, sama seperti pada hari itu. Sedari pagi hujan mengguyur
kota kami, meskipun tidak terlalu lebat namun berlangsung cukup lama. Kami
bahkan sudah berencana membatalkan tujuan saat itu, sekali lagi entah kenapa
sepertinya rasa yang menggebu membuat aku dan suster Vero tetap berangkat
kesana saat hujan mulai reda.
Mobil yang
kukendarai sudah sampai di area parkir goa tritis. Meski begitu perjalanan
belum selesai karena memang untuk mencapai tempat itu harus dilanjutkan dengan
berjalan kaki melalui jalan setapak terjal dan naik turun perbukitan.
Di
perjalanan, aku bak seorang pangeran yang sedang menikmati keindahan alam
bersama seorang putri yang cantik jelita saat itu. Betapa tidak, nyanyian merdu
suara alam seolah mengiringi perjalanan kami melintasi jalan bebatuan yang
terjal dan licin di tempat itu. Sesekali aku dengan sigap meraih tangan suster
Vero yang kesulitan melangkahkan kaki di bebatuan terjal atau tanjakan
curam, bahkan kami sempat beberapa kali terbawa suasana hingga lupa melepaskan
tangan. Nafsu birahi yang biasanya memuncak saat membayangkan suster
Vero menemaniku beronani, kini ditambahi dengan perasaan aneh yang belum
pernah aku rasakan. Detak jantung yang bedegup semakin kencang dan nafasku pun
tak beraturan … Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?
Sampai di tempat
tujuan kulihat masih ada beberapa pengunjung yang melakukan doa disana. Tak
ketinggalan kamipun berdoa bersama, meskipun kemudian suster
Vero mempersilahkan aku untuk menunggunya sebentar karena beliau ingin
memanjatkan doa-doa khususnya secara pribadi.
Aku
berjalan-jalan mengitari mulut goa sambil menyalakan sebatang rokok sambil
menunggu suster Vero selesai dengan doanya. Suster Vero memang tahu
kalau aku merokok namun beliau tidak pernah lagi memarahiku, hanya terkadang
menasehatiku akan bahaya rokok, atau soal uang pembelian rokok yang lebih baik
kutabung . Hubungan kami benar-benar sudah sampai pada titik dimana kami bisa
menerima kekurangan masing-masing.
Hari sudah
semakin sore dan rintik hujan sudah mulai turun, aku bergegas memperingatkan
suster Vero untuk segera menyelesaikan doanya dan turun dari bukit. Hanya
kami berdua yang masih ada di dalam goa dan kami putuskan untuk segera pulang.
Hujan yang semakin deras memaksa kami harus berdekapan dibawah payung lipat
yang sudah disiapkan oleh suster Vero. Seharusnya aku bisa menikmati ini, namun
hujan yang semakin deras memaksaku untuk lebih berkonsentrasi dengan jalanan
yang tidak bersahabat hingga kuputuskan untuk berteduh di sebuah aula tak jauh
dari goa itu. Suasana yang sunyi ditambah hembusan angin yang kencang menerpa
tubuh kami yang sedikit basah terkena hujan, membuat kami berdiri berhimpitan
di teras aula itu.
“Sebaiknya
kita berteduh sambil menunggu hujan mereda” aku mencoba memecah keheningan saat
itu.
“Iya Toni…
Brrr….” Suster Vero mejawab dengan menggigil dengan tangan yang disilangka
seolah mencoba menghangatkan tubuhnya sendiri.
Secara
refleks kutelusupkan tangan kananku diantara punggung suster Vero dengan
dinding aula yang dingin. Kugenggam tangan kanannya dan kuelus perlahan sembari
berkata …
“Maaf
suster, Toni gak tega melihat suster kedinginan….”
Suster
Vero tidak merespon kata-kataku, hanya kulihat mataya mengerliang
kepadaku. Suster Vero hanya menatap kedepan, sesekali meringkuk menundukkan
kepala menahan dingin yang menerpa kami sore itu. Ingin rasanya kudekatkan
wajahku dan kukecup pipinya, namun saat itu aku masih ragu-ragu. Hingga aku
sudah merasa tak kuasa mengungkapkan perasaanku kepadanya.
“Suster …
Toni sayang sama suster ….”
Suster
Vero memalingkan wajahnya kearahku, namun beliau hanya diam saat
bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
“Aku juga
sayang sama Toni….”. Selang beberapa saat suster Vero membuka bibirnya,
meski saat itu ia menundukan kepalanya saat mengungkapkan rasa sayangnya
kepadaku.
Bagai
melayang diudara saat itu, entah hujan atau gondoruwo penunggu bukit inipun
seolah akan mampu aku hadapi nanti, yang penting saat ini aku bisa berlama-lama
dengan kekasih hatiku.
“Terima kasih
suster …” aku mengusap lengan kanannya dan sesekali kuremas lembut.
Kami berdua
larut dalam suasa hening, jantungku berdesir seolah sedang bermain trampolin di
dalam tubuhku. Sesekali kami saling bertatapan kemudian memalingkan muka.
Hingga kuberanikan diri mendekatkan wajahku dan mengecup bibirnya. Suser
Vero tak menolak, namun ia hanya menundukkan kepalanya. Aku semakin berani
dan ku ubah posisiku hingga kami saling berhadapan.
Suster
Vero menatapku dan kami kembali saling berciuman. Kali ini suster
Vero mencoba membalas ciumanku, bibir kami saling berpagutan seolah ingin
saling menunjukan kedalaman cinta kami satu-sama lain. Aku yang memang sudah
terbiasa bermain cinta dengan pacar-pacarku, ditambah dengan referensi film
biru yang sering ku tonton, membuatku tak puas dengan hal itu. Kontolku yang
sudah tegang saat kami saling berpelukan dibawah payung, menjadi semakin besar
dan mengeras mendesak suster Vero.
Ku usapkan
tanganku di punggungnya sambil kami tetap saling berpagutan, sesekali kuturunkan
hingga mengenai pantatnya yang memang benar kencang seperti bayanganku selama
ini. Sampai hinga saat aku hendak menyingkapkan roknya, suster
Vero melepaskan ciumannya dan kemudian mendorongku agar menjauh.
“Jangan
Toni… Kita sudah terlalu jauh …. Dan aku rasa kita sudah sangat salah dan
berdosa…”
Emosiku
bergejolak saat itu, akal sehatku justru semakin hilang saat kudengar kata-kata
suster Vero itu.
“Tapi suster
… Toni benar-benar sayang sama suster…”
“Aku tahu,
dan aku juga sayang sama Toni… Tapi …”
Aku berjalan
mendekat dan kupeluk suster Vero….
“Ijinkan
Toni menunjukan rasa sayang Toni, setidaknya untuk sekali ini saja …”
entah setan apa yang merasukiku sehingga kata-kata itu tiba-tiba kubisikan di
telinga suster Vero.
Mata kami
kembali beradu seketika bibir kami pun juga kembali berpagutan.
Kutarik
tangan kanan suster Vero yang masih terasa ragu menelusup kedalam celana
jeansku, masih terasa susah karena kami juga masih menikmati lidah kami yang
juga saling beradu. Dengan sigap kubuka kancing dan retsliting celanaku hingga
kontolku pun terbebas mengacung meski masih dalam genggaman suster Vero.
Kubimbing tangannya untuk mengocok kontolku yang besar dan panjang itu.
Aku masih
berkonsentrasi dengan bibirnya, sesekali kuremas payudaranya dari luar bajunya.
Hingga saat kocokan tangannya kurasakan semakin berirama, kutekan kedua bahunya
kebawah. Suster Vero sepertinya sudah sedikit paham dengan maksudku. Ia
sudah dalam posisi berlutut dan dihadapannya sudah mengacung kontolku yang
tegak mengacung, kepalanya menengadah dan kedoa bola matanya menatapku
dalam-dalam.
Tanpa
kata-kata seolah Ia tahu apa yang harus dikerjakan saat kugerakkan pantatku
perlahan hingga ujung kontolku menyentuh bibirnya. Bibirnya yang tipis perlahan
terbuka seolah mempersilahkan kontolku merasakan kehangatan mulutnya. Perlahan
kepalanya mulai bergerak maju-mundur dengan penuh perasaan,
“Plop… Flop…
Slrph…’’’
“Terus
suster … Terus sayang …” aku meracau sekenanya sementara sesekali kulihat
suster kesayanganku sudah mulai mahir memijat kontol besarku dengan mulutnya.
“Pelan
sayang …” aku bahkan memintanya untuk mengulum penisku perlahan, karena saat
itu aku merasa akan segera mencapai puncaknya.
“Crot … Crot
…Crot … Cret …”
“Argh.. Hueks
… Aaaahhhh ….” suster Vero terkejut dan seketika melepaskan kontolku
keluar dari mulutnya.
Spermaku pun
berjatuhan saat ia membuka mulutnya yang kutembakan beberapa kali bahkan saat
ia mencoba melepaskan kontolku justru tembakan yang tersisa mengenai pipinya.
“Toni… Kamu
jahat …”
Aku mendekap
tubuh kekasihku itu dan kukecup keningnya, kamipun kembali berpelukan sambil
menunggu hujan reda di tengah hutan itu.
Cerita Mesum, Cerita Seks, Cerita Selingkuh, Cerita Bokep, Cerita ML, Kisah Sex, Cerita Dewasa Terbaru, Kumpulan Cerita Seks



No comments:
Post a Comment
Note: Only a member of this blog may post a comment.